Red Winter

on Senin, 13 Februari 2012
(sebenarnya ini draft buat ikut lomba FF, tapi karena terlalu abstrak apa boleh buat, buang aja ke kotak sampah

~cast: Sasuke Uchiha, Konohamaru, Sakura Haruno, Itachi, Gaara.
(it's my first FF)

“berputar, dan  pulang..”, suara menyebalkan itu mengiang di telinga Sasuke sejak beberapa menit yang lalu. “pulanglah, Sasuke !”, katanya lagi dengan nada menjengkelkan yang entah seperti dikenalnya.


Lampu sein mobil Lancer hitam itu menyala di sebelah kiri, berputar dengan bunyi berdecit dan melaju cepat ke arah taman kota Konohagakure. Jalanan taman yang kecil seolah tidak kuat menampung badan Lancer hitam itu, berkali-kali rodanya terperosok dan menghantam batu yang  mencuat disepanjang kiri-kanan jalan.
“jangan kesana Sasuke !”, kini suara itu semakin melemah dan seakan menghilang, terganti dengan suara desir salju dan angin musim dingin yang seperti mengejek.

Sasuke menghentak pintu mobil dengan keras, menangkupkan jaket dan syal hitamnya ke leher untuk menghalau dingin, lalu berjalan cepat seperti seekor singa lapar. Seperti bukan dirinya.

Taman konohagakure, terbentuk dari rimbunan pohon-pohon pinus dan oak yang umurnya sudah ratusan tahun. Dengan dekorasi khas renaissance, mempunyai kubah-kubah mempesona ditengahnya sebagai tempat berteduh bagi para pengunjung yang datang untuk menikmati keindahan taman itu.

“bullshit !”, bagi Sasuke kubah itu merupakan tempat bersembunyi yang sempurna. Dengan dinding rapat yang hanya mempunyai satu pintu dan jendela, pengatur suhu yang berfungsi baik di musim dingin. Hampir seperti losmen murahan tempat para lelaki brengsek hidung belang memuaskan nafsu bejat mereka sepanjang malam.


 Ia hampir tiba di pusat taman ketika ponselnya bergetar, ada empat pesan singkat dari satu nomor yang sama, dari Konohamaru jagoan kecilnya.  Sasuke mengernyit  membaca pesan singkat yang sepertinya telah dikirim beberapa jam yang lalu itu, “ayah, ibu kemana ?”, bunyi isi pesan itu seperti mengiris benak Sasuke. Foto tiga orang yang tersenyum hangat muncul di layar ponselnya ketika ia menutup text editor setelah sekian kalinya ia berbohong kepada Konohamaru. Sasuke Uchiha, Konohamaru, dan Sakura Haruno tampak di wallpaper sebagai gambaran sebuah keluarga bahagia. “cih! Kau aktris yang hebat!”, gumamnya dan memasukkan ponsel itu ke saku jaketnya. Kini ia berjalan lebih hati-hati ketika melihat kubah putih yang separuh tertutup salju ditengah taman.


Di depan bangunan mungil itu terparkir mobil jeep kelabu beroda besar yang seperempat tinggi rodanya terbenam kedalam salju, agaknya sudah cukup lama disana. Dengan mengendap-endap Sasuke berjalan mendekati mobil itu dari sisi kanan, pintu depan jeep itu masih membuka sedikit sehingga lampu didalamnya masih menyala muram. Di kursi depan ia melihat tas wanita merah, dan sebuah syal merah muda, syal yang dulu dibelinya sebagai kado valentine. Kini baginya terlihat hanya sebagai onggokan kain kusut yang tidak berharga.


“ceroboh seperti biasa, Sakura”, giginya bergemeretak menahan emosi, ia tidak merasa kedinginan lagi. Dengan perlahan Sasuke mengendap ke samping jendela kaca bangunan shelter mungil yang menjadi buram akibat udara dingin, cahaya kuning lemah keluar dari dalam shelter itu. Cahaya lilin.
Dengan telapak tangannya ia membuat bulatan kecil di kaca dengan hati-hati, bermaksud agar orang didalamnya tidak mengetahui kalau mereka sedang diawasi. Dan ia berhasil, dengan agak berjingkat Sasuke melongok kedalam jendela kaca menembus cahaya muram lilin.


Seolah dunia runtuh, kepalanya seperti berubah massa menjadi seberat 100 kilogram. Emosinya memuncak, gambaran hidupnya yang tenang dan indah selama ini telah hancur. Didalam shelter sepasang pria dan wanita terlihat sedang melakukan suatu hal yang sepatutnya dilakukan hanya setelah mereka mempunyai ikatan suci.
Wanita berambut merah muda, yang dulunya selalu menyambut Sasuke dengan senyum hangat saat ia pulang dari bekerja, kini seolah menjadi orang asing baginya. Ia tidak tau lagi, ditengah rintikan salju terasa sesuatu yang hangat membasahi pipinya. Tanpa ia sadari air matanya menetes.


Tidak, ini bukan air mata kesedihan. Lebih tepatnya air mata kebencian, dengan pandangan dingin ia berlari kearah pintu dan mendobraknya, tidak bisa. Terdengar jeritan dari dalam, suara orang yang dikenalnya, ia mencoba sekali lagi, dan berhasil.


Kini ia berdiri di ambang pintu yang rusak dengan napas terengah-engah, memandang jijik kepada sepasang manusia yang juga tengah memandanginya dengan terkejut. Ia tak dapat berkata-kata lagi, hanya berteriak ngeri seperti serigala yang terperangkap. Tanpa sadar ia merogoh sesuatu dari balik jaketnya, sesuatu yang dingin dan berbau kematian.

-belum selesai

0 komentar:

Posting Komentar