~Dua~
Tidak ada laki-laki di Carpenters yang menolak untuk membelikan minum Karen Bloodstock. Setidaknya mengajaknya minum di Harold’s sudah cukup membuktikan kalau pria itu cukup menarik. Bagaimana tidak, keturunan ketiga dari James Sulivan Bloodstock, tangan kanan dari John Carpenter sang pionir. Dan ditangannya warisan dari kakeknya yang menghampar di sebelah selatan Carpenters. Darah bangsawan, cantik, apalagi ? Hanya laki-laki yang cukup bodoh yang akan menolak mengobrol dengannya.
Entahlah, tapi agaknya itu semua tidak berlaku bagi Frank Walker. Pemuda berumur 26 tahun itu tidak menunjukkan ketertarikan bahkan untuk sekedar menyapa ketika bertemu seusai mengisi shift di Camp Shelter, tempat para pekerja perkebunan melaporkan aktivitas mereka.
Frank Walker, orang baru di distrik ini datang sekitar 5 tahun yang lalu. Kabarnya dia adalah seorang desertir yang melarikan diri dari kesatuannya. Ada juga yang mengatakan kalau dia seorang mantan bandit yang insyaf karena sebuah peristiwa hebat di kota Orleans 6 tahun lalu. Tapi rumor yang paling santer adalah mengenai silsilah keluarganya, ada kabar bahwa sebenarnya ia merupakan cucu dari John Carpenter sendiri.
Dia sendiri tidak ambil pusing akan hal itu, baginya yang penting adalah dia tidak mencampuri urusan orang lain, terserah pandangan orang lain terhadapnya. Dan lama kelamaan anggapan itu mulai tenggelam seiring waktu, kini ia adalah warga Carpenters yang sah. Yang menghabiskan waktu dengan menghisap cerutu di akhir minggu bersama para penambang di Carpenters cave, atau menikmati sore di Harold’s sampai tengah malam.
“bagaimana tangkapanmu hari ini?”, sapa Donald Gakuen sambil duduk disamping Frank.
“biasa saja. Pak tua! Tambah lagi” jawabnya tanpa menoleh, tak berapa lama segelas besar Capucino tersaji di depannya.
“jangan sampai kau merasakan peluru Shootgunku nak”, gerutu Harold.
Frank tersenyum menyeringai, meneguk Capucino itu dengan santai.
“sepertinya kita harus mencari captor baru, orang-orang sisilia itu mulai kurang ajar. Mereka menawar dengan harga sangat rendah”, dengus Donald. Rambutnya yang panjang bergelombang terlihat kusut dan kotor, agaknya dia baru pulang dari tambang dan melewatkan mandi.
“Harold, berikan beer untuk temanku ini”,seru Frank. Pria gendut itu bertingkah seperti pelayan Perancis dan menuangkan beer dari drum kayu ke gelas.
“terimakasih.”,
Donald meneguk beer dingin itu, sekarang badannya agak menghangat.
“kau tidak bisa beralih captor begitu saja, kita punya kontrak dengan mereka”. Frank mengeluarkan pack Marlboro merah dari sakunya,
“Kau mau diberondong mereka ketika kita tidur ?, hm ?”, Frank menyodorkan pack rokok itu ke arah Donald,
Donald terlihat bingung sesaat, lalu menarik sebatang gulungan tembakau itu dan menyalakan api.
“lagipula selama sengketa lahan tambang itu belum selesai, kita masih bergantung pada mereka. Jalan ke Wallsmouth juga ditutup, satu-satunya pilihan adalah menahan tangkapan kita sampai kasus ini selesai. Baru kita melihat-lihat keluar”
Donald Gakuen terlihat bingung, matanya yang cekung dan sayu menandakan ia sudah tidak tidur beberapa hari. Entah apa yang dilakukannya selama itu.
“benar juga.” Satu tegukan, dan setengah gelas besar beer itu masuk ke perutnya, “terserah kau lah, you’re the boss”, katanya dengan aksen Irlandia yang kental. Ia berdiri dari tempat duduknya, mengikat rambut dan melenggang pergi.
“Walker! Seperti biasa”, katanya tanpa menoleh.
Frank tersenyum sinis, ucapan “seperti biasa” Donald adalah berarti, “kau yang bayar”. Tapi apa boleh buat, itu imbalan yang pantas bagi seorang pemain kartu yang buruk seperti dirinya.
~Tiga~
Lorong gua itu gelap, dan dindingnya terasa licin. Entah memang karena tetesan-tetesan air yang merembes dari tanah atau karena tangannya berkeringat, Clovis Rutherford berlari sudah hampir 1 jam mengitari lorong yang menyesatkan ini. Napasnya hampir terputus ketika dia mencapai Dragons hall. Akhirnya paru-paru tuanya mendapat lebih banyak Oksigen.
Ruangan berbentuk oval ini berada jauh di dalam Carpenters cave, titik terdalam yang digali para penambang. Disini terdapat berbagai alat bantu pendukung kehidupan, dan mesin besar di tengah gua itu adalah yang terpenting. Meskipun tampak tua dan berkarat, mesin itu satu-satunya alasan para penambang bisa bernafas dengan leluasa. Mesin yang oleh para penambang disebut Dorothy itu berfungsi merubah gas metana dan uap air menjadi Hidrogen, yang kemudian dikonversi menjadi Oksigen, dan mereka patut berterimakasih kepada keluarga Bloodstock, yang telah menyediakan benda seharga 7000 dollar itu disini.
Clovis memutarkan pandangan ke sekelliling ruangan, dia tidak melihat apapun yang bergerak, selain desis uap yang keluar dari Dorothy setiap 1 menit sekali. entah karena gelap atau memang keadaanya demikian, yang jelas dalam hati ia mengutuk dirinya sendiri kenapa tadi tidak mengikuti rekan-rekannya untuk menyudahi penggalian. Ya, kilau emas telah menyilaukan matanya.
Dengan membungkuk dan ekstra hati-hati ia berjalan ke tengah ruangan.
Baterai di lampu helmnya sudah hampir habis, untung saja dia adalah penambang yang sudah cukup berpengalaman, jadi matanya sudah menyesuaikan diri dengan lingkungan gua yang gelap. Tapi entah mungkin karena lelah pandangannya sekarang terkesan kabur. atau karena perasaan takut ?
Dengan tergesa-gesa ia memutar gerendel pintu seberat 15 kilo di muka Dorothy, lalu bergegas masuk ke ruang panel utama.
Di dalamnya terdapat radio dan baterai cadangan untuk helmnya, satu-satunya alat komunikasi adalah radio yang dihubungkan dengan kabel menembus lorong gua yang mendadak mengerikan itu. Dengan tidak sabar Clovis memutar tune frequency supaya dapat terhubung dengan pos penjaga diluar
"Ayolah sialan!", hentaknya memecah keheningan. Gelas seng di dekatnya jatuh menimbulkan suara berdentang yang mengganggu, ia terdiam sesaat mengamati keluar melalui jendela kaca ruangan panas itu dengan cemas.
Tidak ada apa-apa diluar, hanya cahaya merah berputar-putar yang berasal dari lampu darurat menerangi Dragons hall dengan buruk. Ia menghembuskan napas lega, kembali dengan tune frequencynya.
"echo 001.. echo 001 kau disana?", dengan setengah berbisik ia mendekatkan microphone itu ke mulutnya. Tidak ada jawaban, hanya suara gemerisik yang terdengar dari sana.
ia mengulanginya sekali lagi, "echo 001! kode merah!"
"aku ulangi! kode merah!"
tetap tidak ada jawaban, kini suara gemerisik itu semakin lemah. berganti dengan bunyi beep yang panjang berseling
"bangsat!", Clovis menggebrak meja tempat radio itu hingga melukai tangannya. "terkutuklah orang-orang gendut itu", gerutunya sambil menyobek lengan baju flanelnya untuk menutup luka, darah segar mengalir dari pergelangan tangannya yang menganga.
"Klang!", Clovis terkesiap kaget dari aktivitasnya. Ia berlari menuju jendela kaca dan mengawasi keluar dengan cemas, sepertinya drum di sisi kiri Dorothy jatuh tertimpa sesuatu. Ia memutar pandangan ke seluruh ruangan, tetap tidak terlihat tanda-tanda kehidupan.
Setelah membalut pergelangannya yang luka ia bergegas mengambil baterai cadangan di lemari besi,
"mereka akan membayar ini!", dengusnya sambil mengisikan baterai itu ke lampu helmnya.
dengan hati-hati ia memutar gerendel pintu Dorothy, sebatang linggis tergenggam di tangan kirinya.
Bau belerang menyeruak menusuk hidung paruh elang Clovis Rutherford, ia mengernyit dengan heran. seingatnya tidak pernah ada sejarahnya aktivitas gunung api di Carpenters, lagipula daerah ini terletak di tengah-tengah pulau. "persetan!", serunya lirih, a menggenggam linggis ditangannya semakin kuat dan maju perlahan menuju lorong gelap.
Lorong ini merupakan satu-satunya jalan menuju Dragons Hall, dibuka sekitar 1 tahun yang lalu ketika para penambang dengan takjub menemukan sebuah ruangan terbuka di perut bumi. Ya, Dragons Hall memang bukan buatan mereka, ini adalah gua alami yang aneh.
Persetan dengan hal itu, Clovis Rutherford tetap berjalan terseok-seok, kakinya yang dari tadi berlari sudah mati rasa. Ia tidak memikirkan rasa sakit lagi setidaknya untuk saat ini, ia hanya ingin segera keluar dan meneguk segelas besar beer di Harold's.
Clovis ternganga beberapa saat, kini ia tahu alasan radionya tidak bisa terhubung keluar, rupanya pipa baja yang membungkus berbagai kabel listrik dan komunikasi dari pos penjaga ke Dorothy telah rusak. Kilatan-kilatan api kecil terlihat memercik di ujung kabel yang terputus. Beberapa meter saja kabel itu putus lebih dalam, semua ruangan ini akan dipenuhi api. Konsentrasi gas metana di dalam gua memang sangat tinggi di lorong sebelum Dragons Hall, dan tempatnya berdiri sekarang hanya berjarak kurang dari 20 meter, ia harus segera keluar dari sana.
Ia melanjutkan lagi berjalan menelusuri lorong gelap itu, tangannya yang terluka terasa perih terkena karat dan kain flanel yang kasar. Berkali-kali ia mengumpat dalam hati meratapi nasibnya sendiri, 15 tahun hidup sendiri dengan keadaan yang keras telah membuatnya lelah, cukup lelah bahkan untuk menjadi alasan mengakhiri hidupnya sendiri 2 tahun yang lalu. Andai saja anak itu tidak menolongnya. Ya, si anak yang terbuang, Frank Walker
Lamunannya buyar ketika ia sampai di persimpangan lorong A3, dihadapannya tampak pemandangan yang belum pernah disaksikan bola mata birunya yang kusam. Pak tua Clovis yang berbadan kekar itu limbung, lambungnya terasa mual
"Benjamin!", ucapnya setengah menutup mulutnya dengan punggung tangan, napasnya kini semakin berat.
"tuhan, selamatkanlah aku..", ucapnya lirih,
~Empat~
Ada kesibukan yang tidak biasa di Carpenters, pagi itu terlihat iring-iringan mobil polisi federal dan ambulans yang datang dari kota menembus kabut tipis bulan September. Mobil itu menyalakan sirine meraung-raung yang akan membuat siapa saja sebal ditengah waktu tidur mereka. Tapi agaknya pagi ini sebagian besar warga Carpenters sudah beranjak dari tempat tidurnya pagi-pagi sekali, mereka berkerumun untuk menyaksikan evakuasi.
Di mulut Carpenters cave terlihat kerumunan warga yang berusaha melongok kedalam garis polisi, sementara para petugas medis dan forensik langsung berhambur keluar dari mobil ketika sampai, mereka membawa semacam tandu dan kantung berwarna oranye besar.
Agak menjauh dari situ, Anna Anderson mengancingkan sweater birunya dengan tergesa-gesa. rok pendek resmi kremnya agak basah terkena embun pagi yang masih deras turun di Carpenters, ia tidak mau penampilannya buruk ketika take, dan omelan bossnya yang perfeksionis seminggu terakhir ini sudah membuatnya cukup frustasi.
Pagi ini ia terbangun dengan mata terbelalak ketika dering telepon yang nyaring menyayat malam-pagi di apartemennya yang muram. Hanya ada satu alasan telepon di ruang tengah itu berbunyi, panggilan tugas.
"tidak ada hari libur untuk seorang reporter", ia bergumam sebal dan berjalan ke tempat telepon itu berteriak.